Beberin.com, Jakarta – Maraknya upaya Praperadilan yang dilakukan oleh tersangka yang secara umum faktor penyebabnya disebabkan karena adanya prosedur yang tidak dilalui oleh penyidik dan adanya kesalahan-kesalahan penyidik dalam melakukan tugas penyidikan. Melihat kondisi tersebut Bareskrim Polri melaksanakan Forum Group Discussion (FGD) dengan tema “ Praperadilan dan Permasalahannya Tehadap Penyidikan Serta Prosedur Legal Untuk Mengatasinya” pada Rabu 10 Mei 2023 di Gedung Bareskrim Polri dengan menghadirkan Prof. Dr. H. Abdul Latif, S.H., M.Hum (Dekan Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana) sebagai narasumber bersama Prof. Dr. Surya Jaya, S.H., M.Hum, (Hakim Agung)
Hadir juga dalam acara FGD tersebut Karowassidik Bareskrim Polri, Brigjen Pol Iwan Kurniawan, S.I,K., MSi. Dan Kabag Mindik Rowassidik Bareskrim Polri Kombes Pol Dr. Indarto , Divisi Hukum Mabes Polri Kombes Pol Veris Septiansyah, SH. S.I,K., M.Si., MH, hadir juga Prof. Dr. Suparji Ahmad, SH.,MH. (Guru Besar Hukum Universitas Al-Azhar) dan para peserta FGD.
Diselenggarakan FGD ini oleh Bareskrim Polri adalah sebagai upaya untuk mengetahui dan menjelaskan faktorfaktor yang menjadi penyebab timbulnya Praperadilan, upaya yang dilakukan penyidik kepolisian dalam menghadapi Praperadilan dan untuk mengetahui apakah lembaga Praperadilan sudah berjalan sebagaimana mestinya, serta eksaminasi putusan dan perkara untuk mengetahui menguji atau menilai dari sebuah putusan hakim apakah pertimbangan-pertimbangan hukumnya telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum. Apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan benar, serta apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat.
FGD ini juga bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan faktor-faktor yang menjadi penyebab timbulnya Praperadilan. Upaya yang dilakukan penyidik kepolisian dalam menghadapi Praperadilan dan untuk mengetahui apakah lembaga Praperadilan sudah berjalan sebagaimana mestinya; Menggali informasi, wawasan, pendapat hukum ahli untuk mendapat masukkan dan rekomendasi apakah mekanisme Praperadilan masih efektif dalam menjamin hak-hak Tersangka, Meningkatkan pemahanan anggota tentang hukum seiring dengan meningkatnya kasus Pra Peradilan.
Diskusi membahas permasalahan-permasalahan yang muncul dalam praktek penyidikan serta solusi atau tindakan apa saja yang bisa ditempuh untuk mewujudkan proses penyidikan sesuai KUHAP dan peraturan Iainnya serta untuk menghindari munculnya permohonan pra peradilan; diskusi publik terhadap putusan Praperadilan terkait perkara.
Prof. Abdul Latif dalam paparannya pada FGD tersebut menjelaskan bahwa ada beberapa permasalahan hukum yang dihadapi, dalam kewenangan Praperadilan dalam menetapkan tersangka antara lain: Perluasan objek praperadilan yang menjadi kewenangan dari Pengadilan Negeri diatur dalam ketentuan Pasal 77 KUHAP, yaitu: sah atau tidaknya penangkapan dan/atau penahanan; penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; permintaan ganti rugi atau rehabiltasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Menurut Prof. Abdul Latif dalam paparannya menerangkan bahwa ada perluasan objek praperadilan diluar ketentuan Pasal 77 KUHAP tersebut, telah terjadi perkembangan hukum dalam praktik yang telah menerobos batasan-batasan yang diatur dalam KUHAP; yaitu:
1) Adanya perkembangan Hukum yang merupakan wujud nyata dari implementasi teori responsif yang menguraikan bahwa hukum sebagai suatu sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi –aspirasi masyarakat.
2) Adanya Putusan MK Nomor 21/PU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf A KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
3) Salah satu pertimbangan hukum dari putusan MK tersebut, yaitu “Penetapan Tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap Hak Asasi Manusia, maka seharusnya Penetapan Tersangka oleh Penyidik meupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui upaya hukum pranata praperadilan.”
4) Berdasarkan pertimbangan hukum putusan MK tersebut, sematamata untuk memberikan perlindungan seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan , maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya.
5) Putusan MK tersebut, memberikan perlindungan terhadap seseorang yang mengalami proses hukum yang keliru pada saat ditetapkan sebagai Tersangka.
6) Di dalam ketentuan Pasal 8 UU RI Nomor:39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) telah diatur bahwa” Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggung jawab pemerintah.
7) Dapat dipahami putusan MK tersebut telah mengambil peran dalam pemenuhan HAM melalui putusannya sebagai bagian dari upaya responsif konstitusional. Salah satu unsur perlindungan hukum yang ditekankan melalui putusan ini adalah kepastian hukum bahwa Penyidik harus melakukan tindakan penyidikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
8) Setelah adanya putusan MK ini, maka permohonan praperadilan atas penetapan tersangka memiliki landasan hukum untuk diajukan ke Pengadilan
Namun menurut Prof. Abdul Latif yang perlu diketahui yaitu terdapat karakteristik khusus Pengajuan praperadilan terkait penetapan tersangka yakni:
1). Penetapan tersangka tidak sah karena pemeriksaan saksi-saksi , ahli, tersangka, penggeledahan, serta penyitaan dilakukan setelah penetapan tersangka, sehingga tidak terpenuhinya 2 (dua) alat bukti;
2). Permohonan praperadilan yang kedua kalinyamengenai penetapan tersangka tidak dapat dikategorikan sebagai sebagai ne bis in idem , karena belum menyangkut pokok perkara;
3). Penetapan tersangka atas dasar hasil pengembangan penyidikan terhadap tersangka lainnya dalam berkas berbeda (splitsing) adalah tidak sah;
Selanjutnya, Prof.Abdul Latif menjelaskan bahwa praktik praperadilan terkait penetapan tersangka, awal mulanya dapat ditemukan dalam putusan No.38/Pid-Pra/2012/PN.Jkt.Sel. Adapun pertimbangan hukumnya adalah menghubungkan sah atau tidaknya penetapan tersangka dengan penahanan sebagai upaya paksa , kemudian ditafsirkan makna alat bukti yang cukup dalam ketentuan Pasal 21 Ayat (1) KUHAP terhadap ketentuan Pasal 184 (1) KUHAP, sehingga penetapan tersangka termasuk objek praperadilan. Namun, mengenai penghentian penyidikan sebagai bagian dari penetapan tersangka dianggap bukan materi praperadilan.
Membatasi Ruang Lingkup Hukum Materil Praperadilan
Berdasarkan Putusan MK Nomor 109/PUU-XIII/2015, telah menafsirkan makna “Penyidik” independen KPK yang dijadikan sebagai alasan mengajukan permohonan praperadilan tidak sahnya penetapan Tersangka.
MK mempertimbangkan , bahwa ketika terdapat perbedaan antara UU No.30 tahun 2002 dengan KUHAP perihal kedudukan Penyidik , maka KPK dalam menjalankan tugasnya tetap terikat pada UU No.30 Tahun 2002 dan dapat mengesampingkan KUHAP sepanjang hal itu secara khusus diatur dalam UU No.30 tahun 2002, sejalan dengan prinsip atau asas hukum “lex specialis derogat legi generalis”
Kemudian, MK berpendapat penyidik KPK sebagaimana diatur dalam dalam Pasal 45 Ayat (1) UU No30 tahun 2002, tidak harus hanya berasal dari institusi Kepolisian sebagaiamandiatur dalam Pasal 6 Ayat (1) KUHAP dan menurut MK , KPK memiliki kewenangan untuk mengangkat sendiri Penyidiknya.
Sebagai catatan melalui putusan MK ini, telah menegaskan posisinya sebagai penafsir undang-undang dengan menmghubungkan melalui penafsiran sistematis dengan prinsip kekhususan suatu undang-undang. Untuk menciptakan konsistensi sikap terhadap muatan menafsirkan oleh MK, maka penyidik independen KPK sudah tidak eksis untuk dijadikan bagian dari permohonan praperadilan penetapan tersangka. Kesatuan hukum perlu dibangun untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) untuk kepentingan –kepentingan tertentu.
Gugurnya Permohonan Praperadilan
Putusan MK No.102/PUU-XIII/2015, menyatakan Pasal 82 Ayat (1) huruf d UU No..8 Tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bertentangan dengan UUDN RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa” suatu perkara sudah mulai diperiksa” tidak dimaknai “permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama Terdakwa/Pemohon Praperadilan.
Melalui putusan MK tersebut, pengertian “perkara sudah mulai diperiksa” dalam perkara praperadilan adalah pada saat pokok perkara disidangkan. Dapat dipahami bahwa putusan MK ini akan menyelesaikan perbedaan tafsir para Hakim pada saat menggurkan permohonan praperadilan, karena sebelumnya ada sebagian putusan praperadilan yang menggurkan permohonan setelah berkas dikirim ke Pengadilan.
Frasa “sudah mulai diperiksa” tidak diatur secara garamatikal (menurut tata bahasa) oleh KUHAP, sehingga kualifikasi “sudah mulai diperiksa” ditafsirkan secara sistematis terhadap ketentaun Bab XVI “ Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan” Bagian Ketiga “Acara Pemeriksaan Biasa” pada Pasal 152 KUHAP yang mengatur “Dalam hal Pengadilan Negeri menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa perkara tersebut termasuk wewenangnya. Ketua Pengadilan menunjuk Hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan Hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari sidang” Proses penunjukan Hakim dan proses penetapan hari sidang dilakukann oleh Hakim melalui proses pemeriksaan berkas perkara terlebih dahulu
Penyerahan SPDP
MK menyatakan Penyampaian Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) tidak hanya diwajibkan terhadap Jaksa Penuntut Umum akan tetapi juga terhadap terlapor dan korban/pelapor dengan waktu 7 (tujuh) hari dipandang cukup bagi Penyidik untuk mempersiapkan /menyelesaikan hal tersebut.
Alasan MK didasarkan pada pertimbangan bahwa terhadap terlapor Yang telah mendapatkan SPDP, maka yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk penasihat hukum yang akan mendampinginya. Sedangkan, bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas laporannya.
Putusan MK ini memberikan ruang bagi Tersangka melakukan praperadilan apabila pada saat berstatus sebagai terlapor belum menerima SPDP atau lewatnya waktu 7 (tujuh) hari penyerahan SPDP kepada terlapor. Acuannya adalah adanya prinsip atau asas hukum “due prosces of law” yang harus dipenuhi. Pemberitahuan dimulainya suatu proses hukum merupakan hak konstitusional yang dijamin pelaksanaannya oleh aparatur hukum (penyidik) sehingga SPDP sebagai bagian dari prosedur hukum perlu dipastikan pelaksanaannya.
Penolakan terhadap alasan praperadilan karena terlambat mengirim SPDP sesuai dengan putusan MK, dapat diketahui melalui Putusan No. 71/Pid-Pra/2017/PN.JKT. SEL. Dengan alasan “ apabila tidak didalilkan. Ke dalam permohonan berarti Pemohon menganggap tentang surat pemberitahuan dimulainya penyidikan bukan perkara yang substansial sehingga alasan tersebut ditolak”. Putusan ini merujuk pada formulasi permohonan praperadilan yang tidak memuat keberatan atas keterlambatan penyerahan SPDP melainkan diajukan pada kesimpulan.
Prof. Abdul Latif menyimpulkan bahwa Perkembangan praperadilan melalui 4 (empat) putusan MK mempengaruhi perubahan tahapan-tahapan prosedural hukum, yakni terbukanya kewenangan mengajukan permohonan praperadilan penetapan tersangka. Diakuinya kedudukan penyidik independen KPK, gugurnya permohonan praperadilan setelah berkas dikirim dan telah dimulainya sidang pokok perkara, serta kewajiban menyerahkan SPDP. Dalam hal penetapan Tersangka juga terdapat karakteristik khusus yang akan selalu berkembang menyesuaikan prosedur yang berkeadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
Prof. Abdul Latif sangat mengapresiasi kegiatan FGD tentang Praperadilan yang digagas oleh Bareskrim Polri dengan menghadirkan akademisi ilmu hukum untuk membahas segala permasalahan hukum yang terjadi di masyarakat dan mencari solusi yang terbaik dalam menangani perkara secara profesional oleh penegak hukum khususnya penyidik.
(Edison)
Leave a Reply