Seperti Dipaksakan, Saksi Ahli : Kasus Yusra Amir Sebenarnya Kasus Perdata Bukan Pidana

Ketua LPM Depok, Yusra Amir

Beberin. com, KOTA DEPOK – Sejumlah masyarakat bahkan pengamat hukum menilai kasus yang sedang dialami tokoh masyarakat, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kota Depok, Yusra Amir seperti dipaksakan, karena sebenarnya kasus Perdata menjadi Pidana.

Berawal, Yusra Amir menjalin hubungan bisnis dengan almarhum Mulya Wibowo pada 2019. Saat itu, meminjam uang tunai sebesar Rp 2 miliar dengan jaminan sertifikat tanah, namun baru diterima sebesar Rp 500 juta.

Pada tahun 2020, tiba-tiba Daud Kornelius Kamarudin yang mengaku punya piutang kepada Mulya Wibowo sebesar Rp 2 miliar, sehingga meminta untuk perjanjian hutang dengan jaminan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).

“PPJB dialihkan kepada Daud, tanpa melakukan pembayaran apapun padahal saya baru menerima uang dari Mulya Wibowo sebesar Rp 500 juta,” papar Yusra Amir.

Kemudian, Mulya Wibawa meninggal dunia pada 8 September 2021. Lalu, Daud Kornelius Kamarudin lalu meminta dikembalikan piutangnya dari Mulya Wibawa.

“Padahal saya tak ada urusan pinjam uang ke Daud. Tapi, saya tetap bertanggungjawab dan berusaha mengembalikan uang tersebut dengan membayarnya Rp250 juta dan membuat perjanjian baru dengan jaminan 30 sertifikat tanah,” tutur Yusra Amir.

Selanjutnya, atas perjanjian tersebut sudah ditunaikan oleh PT CKS (partner bisnis property) dengan cara memotong uang pembelian atas tanah miliknya.

“Sehingga seharusnya perkara Perdata ini sudah selesai dan apabila ternyata uang yang dilaporkan telah dipotong dari uang pembelian tanah yang menjadi hak saya tersebut tidak diterima oleh Pelapor, maka pertanyaannya siapa yang merugikannya? Faktanya dalam laporan keuangan uang saya sudah dipotong,” tukas Yusra Amir.

Seperti diceritakannya, bahwa dalam kasus konflik di salah satu perusahaan yang sudah berlangsung sejak laporan polisi Nomor ; LP/B/1541/VII/2022/SPKT/Polres Metro Depok/Polda Metro Jaya tanggal 19 Mei 2022 itu, Yusra Amir dijadikan Tersangka Penipuan dan Penggelapan (Pasal 378 dan 372) oleh penyidik kepolisian Polrestro Depok.

“Bahkan, penyidik Polrestro Depok yang menangani laporan polisi tersebut, telah dipindahtugaskan setelah dilaporkan ke Propam Polda Metro Jaya, karena dinilai terdapat kejanggalan dalam proses hukum tersebut. Jadi, dari hasilnya terhadap oknum tersebut sudah dikenakan sanksi dan dimutasi,” ujar Yusra Amir kala itu.

“Kemudian, dinilai penyidik polisi tidak transparan. Tak disangka kasus terus berlanjut, pihak penyidik pengganti Polrestro Depok melimpahkan kasus Yusra Amir beserta barang bukti ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Depok, Senin, (26/02/2024).

Selanjutnya, pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Depok menerima pelimpahan tahap 2 ke Jaksa Penuntut Umum (JPU). Namun, dirinya yang sudah lansia, berusia 62 tahun pun diborgol, dan digelandang’ tanpa mengindahkan keberatan keluarga dengan mengajukan tahanan luar,” keluh Yusra.

Adapun kasus Yusra Amir kini di Pengadilan Negeri (PN) Kota Depok dan mendapat persetujuan tahanan luar yang diajukan di persidangan. Dalam sidang lanjutan di PN Kota Depok, Senin (20/05/2024), dengan agenda pemeriksaan saksi ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni Dr. Anis Rifai, S.H., M.H, mengungkapkan, bahwa kasus Yusra Amir merupakan kasus Perdata bukan Pidana,” tegas Anis.

Dalam persidangan saksi ahli mempersiapkan mengenai unsur-unsur pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mencakup tindakan untuk menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain melalui penggunaan nama palsu, identitas palsu, keadaan palsu, tipu muslihat, dan rangkaian kebohongan.

“Bahwa suatu kesepakatan bisa dianggap sebagai tindakan pidana jika sejak awal disampaikan dengan tidak benar, dan sebaliknya, kesepakatan dapat dianggap sebagai hukum Perdata jika sejak awal disampaikan dengan benar tetapi ada keadaan tertentu yang menyebabkan kesepakatan tersebut tidak dapat dilaksanakan,” tukas Dosen hukum pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia itu.

Sementara, JPU berusaha membuktikan bahwa tindakan Yusra Amir merupakan pelanggaran hukum pidana dengan menekankan pada unsur tipu muslihat dan rangkaian kebohongan, serta pelanggaran kesepakatan dengan mengalihkan sertifikat kepada pihak lain.

“Namun, saksi ahli menyatakan bahwa tindakan tersebut lebih tepat dikategorikan sebagai wanprestasi, bukan pelanggaran Pidana.

Bahkan, tim kuasa hukum Yusra Amir yang terdiri dari Udin Wibowo, S.H., dan Mathilda, S.H., menyambutnya sangat positif kesaksian dari Dr. Anis tersebut.

Udin Wibowo juga selaku kuasa hukum Yusra Amir juga mengapresiasinya dan kepuasannya terhadap jalannya pemeriksaan saksi ahli tersebut. Karena, dinilai keterangan saksi ahli sangat menguntungkan pihak kliennya. Sebab saksi ahli menjelaskan bahwa kasus ini adalah perkara perdata.

“Jadi, pihaknya sangat puas dengan sidang kali ini. Bahkan, dengan perjanjian yang awalnya sah ini tidak mengandung unsur tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau identitas palsu,” ujar Udin, seusai sidang.

Ditempat yang sama Mathilda, salah satu kuasa hukum Yusra Amir lainnya, menambahkan bahwa dalam ilustrasi yang disampaikan di persidangan tidak ditemukan adanya mens rea (niat jahat) atau actus reus (tindakan kriminal) yang melatarbelakangi kejahatan tersebut.

“Pendapat saksi ahli menunjukkan bahwa permasalahan terdakwa masih berada dalam ranah hukum perdata, bukan pidana,” tukas Mathilda.

Sidang berikutnya akan digelar dua minggu ke depan dengan agenda mendengarkan keterangan dari terdakwa dan saksi a de charge.

Pengembangan lebih lanjut dari kasus ini diharapkan akan semakin memperjelas apakah tindakan Yusra Amir sepenuhnya merupakan Perdata.

SAID