Sadar Akan Keberagaman di Indonesia Teloransi Menjadi Modal Utama Kerukukan

Prof.Dr.H. Abdul Latif, S.H.,M.Hum Dekan Fakultas Hukum UNKRIS bersama Jossy Belgradoputra Mahasiswa Fakultas Hukum UNKRIS

Beberin.com, JAKARTA – Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana (UNKRIS) belum lama ini mengadakan penelitian hukum dengan mengunjungi Paseban Tri Panca Tunggal adat karuhun urang sunda wiwitan di Desa Cigugur, Kuningan Jawa Barat. Fakultas Hukum UNKRIS melihat bahwa keberagaman suku bangsa, agama, budaya, menjadi sumber investasi yang tak ternilai harganya. Akan tetapi jika tidak dibina toleransi antar umat beragama dan kepercayaan akan menjadi perpecahan di masyarakat.

Kegiatan ini merupakan pengabdian rutin yang dilakukan FH UNKRIS. Dalam kegiatan tersebut, Dekan FH UNKRIS, Prof. Dr. H. Abdul Latif, S.H., M,Hum. Langsung memimpin penelitian tersebut bersama tim yang terdiri dari Kepala dan Sekretaris Prodi S2 dan S3, Dr. Siswantari Pratiwi, Dr. H. Mardani, Hartono Widodo juga Wisnu Nugraha, selaku Wadek I dan III. Kegiatan ini juga menjadi tugas perguruan tinggi dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi melalui program Penelitian, Pengabdian dan Penyuluhan Pada Masyarakat dan menjadi syarat penilaian akreditasi oleh Dikti nantinya.

Suasana Penelitian Fakultas Hukum UNKRIS mengunjungi Paseban Tri Panca Tunggal Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan di Kampung Cigugur Kabupaten Kuningan Jawa Barat

Mahasiswa Fakultas Hukum UNKRIS, Jossy Belgradoputra atau yang biasa di sapa Jossi ini menerangkan bahwa penelitian ke Desa Cigugur ini baru pertama kali dilakukan oleh Mahasiswa UNKRIS dan masyarakat. Dari awal dirinya diminta untuk menghubungi pihak dari sana, kebetulan Jossi kenal dengan Ira Indrawardana, yang merupakan Dosen Antropologi di FISIP Unpad dan kebetulan beliau (Indrawardana) juga penganut penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan. Terus dirinya juga menghubungi Ibu Dewi Kanti dan Ibu Juwita. Dewi Kanti dan Juwita Jatikusuma adalah anak dari Pangeran Jatikusuma.

“Seharusnya memang pemerintah itu mengayomi, jika ada aspirasi masyarakat, diberikan jalan keluarnya, pemerintah itu harus melayani masyarakatnya. Itu menurut saya.” Ucap Jossi.

“Penganut Sunda Wiwitan itu dulunya dari Pangeran Madrais yang sebetulnya asli dari Cirebon. Menurut cerita yang beredar, Pangeran Madrais itu adalah kerabat dari Syarif Hidayatullah di Cirebon yang merupakan salah satu Walisongo. Sejak kecil beliau (Pangeran Madrais) dititipkan di Cigugur kepada seorang tokoh masyarakat, yakni Ki Sastrawardana,” ujar Jossi.

Dekan FH UNKRIS, Prof.Dr.H. Abdul Latif, SH.,MH terlihat sedang berdialog dengan dengan salah satu tokoh adat di Kabupaten Kuningan Jawa Barat

Menurut Jossi adanya polemik tugu batu satangtung berupa sebuah batu yang disusun berbentuk seperti tugu adalah dasar ketertarikan mengapa kami (FH UNKRIS) mengunjungi Desa Cigugur tersebut.

Lebih lanjut Jossi menjelaskan mengapa UNKRIS tertarik melakukan penelitian di Desa Cigugur Karena penghayat kepercayaan itu sepertinya selalu di diskriminasi oleh pemerintah daerah setempat. Intoleransi dari daerah setempat. “Kami tertarik karena batu satangtung itu kelak akan menjadi makamnya pengeran Jatikusuma bersama istrinya dan menurut yang saya baca di berita, belum mendapatkan izin. Alasannya Pemda setempat tidak memberikan izin untuk membangun (IMB). Itulah ketertarikan FH UNKRIS untuk melakukan penelitian disana. Sekaligus juga saya ingin menanyakan langsung kepada pihak Paseban Tri Panca Tunggal “apakah masyarakat adat di Cigugur sudah diakui atau belum?” ternyata mereka belum diakui.” Ungkap Jossi.

Prof Latif juga menegaskan bahwa hukum positif (Perda) yang berlaku dalam masyarakat itu hendaknya harus memperhatikan atau berdasar pada hukumnya masyarakat sebagai hukum yg hidup dan dipertahankan secara turun temurun haruslah diberi bentuk legalitas oleh pemetintah daerah setempat (perda) sebagai hukum yang hidup (living law) yang menjungjung tinggi persamaan dihadapan pemerintahan dan Hukum sesuai prinsip hukum yg dikenal dalam UUD NRI 1945 yaitu Indonesia sebagai Negara Hukum.

“Seharusnya masyarakat adat itu mempunyai hak untuk diakui. Dan sekarang negara sudah mengakui dengan dicantumkannya kepercayaan dalam KTP, kalau dulu kan, dalam kolom agamanya strip…dan itu yang diceritakan Indrawardana kepada saya bagaimana awalnya dia mengalami diskriminasi saat mendaftar sebagai Dosen, alasannya hanya karena dalam kolom agamanya – (strip)“ terang Jossi.

Jossi lebih lanjut mengatakan “seharusnya jika pemerintah pusat mengeluarkan suatu peraturan, maka sesuai hierarki peraturan perundang-undangan pemerintah daerah harus mengacu kepada aturan yang dibuat oleh pemerintah pusat, begitu juga dibawahnya.”

“Topik ini baru pertama kali dan terlihat kemarin dari komunitas adatnya itu mereka mempunyai harapan. Semoga kami dapat membantu mereka. Tetapi saya melihat sepertinya dalam internal mereka ada ketidak sepahaman, sehingga mereka harus selesaikan dahulu,” ujar Jossi.

“Tujuan dari penelitian itu sesuai dengan apa yang disampaikan Prof. Abdul Latif kemarin, kita coba buat rancangan perda nya seperti apa agar masyarakat adat itu di akui. Jadi disamakan dulu persepsinya antara pemda setempat dengan masyarakat adat. Seharusnya masyarakat adat Sunda Wiwitan itu sudah diakui, karena mereka memiliki bukti yakni minuskrip yang ditulis pangeran Madrais, begitu juga wilayah adat yang jelas. Makanya saya masih belum paham kenapa mereka (pemerintah daerah) belum mengakui,” pungkasnya.

(Edison)