Reformasi Hukum Perampasan Aset Bertujuan Agar Tidak Seorangpun Dapat Menikmati Aset Yang Kotor

BEBERIN.COM, JAKARTA – Reformasi Hukum di Indonesia terkait Rencana Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset hingga saat ini masih belum disahkan menjadi sebuah Undang-Undang. Padahal UU Perampasan Aset ini menjadi harapan bagi pemerintah untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat sehingga tercipta kesejahteraan sosial seperti dicita-citakan kita bersama. Melihat hal tersebut Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana (Unkris) terbesit untuk mengadakan webinar dengan tema “ Reformasi Hukum Perampasan Aset Dalam Tindak Pidana” yang diadakan di Aula Gedung Prof. R. Subekti yang dibuka langsung oleh Rektor Unkris,Dr. Ir. Ayub Muktiono, Rabu ( 27/9/2023).

Hadir dalam acara Webinar tersebut Dekan Fakultas Unkris, Prof Dr. Abdul Latif, S.H., M.Hum, Ketua Pengawas Yayasan Unkris, Irjen Pol (Purn) Drs Ali Johardi, SH, MH, Ketua Pengadilan Negeri Kota Bekasi Surachmat SH, MH, Dr Suhadi, SH, MH, Ketua Kamar Hukum Pidana Mahkamah Agung, Dr Chairul Huda SH, MH, Pakar Hukum Pidana dan Penasehat Ahli Kapolri, serta Dr. Patra M Zain, SH, LLM, Dosen FH Unkris dan Praktsi Hukum, Dr. Warasman Marbun, S.H.,M.Hum. Webinar ini juga diikuti oleh Dekan, Dosen, dan para mahasiswa Fakultas Hukum Unkris.

Dekan FH Unkris Prof.Dr. Abdul Latif, SH .,M.Hum sedang memberikan kata sambutannya kepada para peserta Webinar.

Dekan FH Unkris, Prof Abdul Latif dalam kata sambutanya mengatakan “ Saya pimpinan Fakultas Hukum Unkirs mewakili civitas akademika tentu merasa berbahagia dan bangga atas terlaksananya webinar hukum pidana dalam tema “Reformasi Hukum Perampasan Aset Dalam Tindak Pidana” saya kira tema sentral ini sangat menarik dan masih aktual karena sekarang ini ada RUU yang berasal dari Pemerintah kepada DPR-RI untuk dibahas untuk kemudian menjadi UU. Saya kira niat baik ini patut kita sambut karena itu Fakultas Hukum tidak terlepas dalam perannya sebagai pelaksana Tri Dharma Perguruan Tinggi ikut mengambil bagian dalam rangka memberikan suatu pemikiran-pemikiran yang sifatnya respon terhadap permasalahan-permasalahan khususnya pada penegakan hukum dan keadilan di negara kita tercinta.

Prof Abdul Latif berharap dari hasil webinar ini paling tidak akan memberikan kontribusi bagi pemerintah dan masyarakat, utamanya dalam mencapai cita-cita negara hukum guna mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut Prof Abdul Latif, substansi perampasan aset dalam tindak pidana ini secara faktual banyak terjadi dikalangan penyelenggara pemerintahan atau ASN. Sehingga jika persoalan ini tidak menjadi perhatian masyarakat, maka menurutnya, hak konstitusionalitas dari rakyat terutama hak sosial dan ekonomi untuk menikmati kesejahteraan dalam menikmati pembangunan Indonesia menjadi jauh dari harapan.

Dekan FH Unkris memberikan plakat kepada Irjen Pol (P) Dr. Ali Johardi, SH.,MH (Ketua Pengawas Yayasan Unkris) dalam acara Webinar ” Reformasi Hukum Perampasan Aset Dalam Tindak Pidana”

“Karena itu, webinar ini secara aktif memberikan pemikiran dan sebagai bahan pertimbangan ke depan atau sekaligus bahan diskusi kita sebagai lembaga pendidikan terkait perampasan asset,” pungkasnya.

Ketua Pengawas Yayasan Unkris, Irjen Pol (P) Dr. Ali Johardi, S.H.,M.H memberikan kata sambutannya kepada para peserta Webinar.

Ketua Pengawas Yayasan Unkris, Irjen Pol (Purn) Dr. Ali Johardi, SH, MH, dalam kata sambutannya juga menyampaikan bahwa wacana tentang urgensi UU Perampasan Aset mencuat dan sempat menjadi topik pembicaraan yang hangat ketika muncul peristiwa pidana yang menimpa pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan. Sayangnya sejak bulan Mei dibicarakan namun sampai sekarang tak kunjung disahkan menjadi UU.

Menurut Ali sejatinya wacana RUU Perampasan Aset ini sudah diajukan oleh pemerintah sejak tahun 2008 atau 15 tahun lalu. Tetapi memang tidak mudah untuk menggoalkan sebuah RUU menjadi UU mengingat dalam setiap produk hukum selalu ada pihak yang memiliki kepentingan.

Lanjut Ali, menggambarkan bahwa pengajuan revisi UU no 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang dilakukan BNN sejak 2015, hingga sekarang tidak menghasilkan satu pun pasal revisi. “Kalau UU Narkotika kami gampang cari kambing hitamnya, jangan-jangan kartel yang bermain sehingga mampu memprovokasi agar revisi UU Narkotika tidak jadi. Tetapi kalau RUU Perampasan Aset, siapa yang akan dijadikan kambing hitam,” katanya.

Ali berharap dari webinar ini, bisa menjadi motivasi bagi para pemangku kepentingan yang berkompeten untuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset ini menjadi UU. “Mudah-mudahan akhir tahun 2023 sudah disahkan jadi UU,” harap Ali.

Sementara Pakar Hukum Pidana Dr. Patra M Zain, SH, LLM yang hadir sebagai narasumber dalam acara webinar ini mengatakan “ Apa rakyat butuh, kalau rakyat memang butuh RUU ini disahkan, jawaban nya tidak, karena DPR sampai hari ini pun tidak mau membahasnya.”

RUU ini menurut Patra sudah berulang kali masuk Prolegnas bahkan prioritas tapi tidak pernah dibahas. “ Karena mereka tahu jangan-jangan kita pula nggak bisa tidur siang” ujarnya.

Menurut Patra jika melihat UNCAC 2003 memang betul ada yang namanya United Nations Convention Against Corruption 2003 (UNCAC 2003) perampasan asset tanpa pemidanaan. Tujuannya , pertama dia (UU Perampasan Aset) berkontribusi dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur itu kepentingan kita bukan kepentingan hukum pidana, kalau ini kita dukung maka kita turut berkontribusi dalam hal mewujudkan masyarakat adil dan makmur, dan yang kedua terwujudnya konsep negara hukum karena tidak ada seorangpun yang dapat menikmati harta dan asset yang kotor, itu tujuannya. Tidak ada satupun warga negara Indonesia yang bisa dia enak-enak menikmati asset yang kotor dan juga asset yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dan yang ketiga, tentunya menjadi dasar bagi hukum, dasar bagi aparat hukum, dasar bagi kita untuk mewujudkan dua hal tadi. Ini menurutnya adalah proses pengembalian kerugian negara yang pertama kali berkembang di negara-negara common law.

Patra juga mencotohkan beberapa negara yang telah menerapkan UU Perampasan Aset ini seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, Nigeria, Peru, Selandia Baru, Filipina,. “ Negara yang lain nggak ribut kayak kita kok, sudah jalan, sudah berlaku, sudah pula dirampas aset-aset orang itu,” pungkasnya.

Dr. Suhadi, S.H.,MH (Ketua Kamar Hukum Pidana MA) dalam paparannya mengatakan ” Perampasan Aset tanpa pemidanaan sangat penting karena Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia cendrung untuk bertujuan mengungkapkan tindak pidananya sendiri menemukan pelakunya, serta menghukumnya yaitu hanya terbatas pada penjatuhan sanksi pidana atau pidana penjara, tetapi terhadap penyitaan dan perampasan aset tindak pidana masih belum menjadi bagian penting dalam penerapan hukum.”

Lebih lanjut Suhadi menjelaskan bahwa perampasan Aset secara Pidana itu berawal dari penyitaan. Bahwa aset yang bisa dirampas adalah aset yang sudah berkekuatan hukum tetap. Kemudian ada hubungannya dengan tindak pidana yang bersangkutan berawal dari penyitaan. Suatu benda dalam tindak Pidana itu bisa dikatakan barang bukti yang bermuara pada putusan hakim disebutkan kemana statusnya adalah melalui pintu penyitaan.

“Jadi perampasan itu harus melalui pintu penyitaan. Nah penyitaan ini diatur dalam pasal 38 dan 39 KUHAP. Pasal 38 KUHAP hendaknya penyidik itu yang berwenang melakukan penyitaan harus dengan seijin ketua Pengadilan kecuali dalam hal tertentu penyidik dapat melakukan penyitaan terlebih dahulu kemudian dalam waktu singkat harus minta persetujuan ketua pengadilan. Ketua Pengadilan harus mengkoreksi apakah yang disita itu mempunyai hubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan. Nah kalau sudah ada hubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan maka disitu bisa di kualifikasi kan di dalam pasal 39 KUHAP.” terang Suhadi.

(EDISON)