Beberin.com, Jakarta – Dikabulkannya permohonan uji materil Ketua Partai Garuda oleh Mahkamah Agung yang tertuang dalam putusan Nomor 23 P/HUM/2024 perihal aturan batas minimal usia calon kepala daerah menjadi kontroversi di masyarakat.
Akademisi Universitas Krisnadwipayana, Prof Abdul Latif dalam keterangannya kepada awak media mengatakan ” Kalau kita merujuk pada Putusan MA No. 23/HUM/2024 ini telah melaksanakan kewenangannya untuk memutus permohonan hak uji materil terhadap pemohon yang pada subtansinya mempersoalkan peraturan PKPU No. 9 tahun 2020 pasal 4 ayat (1) huruf b yang mengatur mengenai pembatasan usia minimal bagi calon gubernur dan calon wakil gubernur dan seterusnya itu telah menjadi kontroversi di masyarakat.
Lebih lanjut Prof Abdul Latif menjelaskan bahwa Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 pada prinsipnya telah menguji Peraturan KPU terkait dengan syarat minimal/batas usia pasangan calon kepala daerah gubernur dan wakil gubernur maupun calon kepala daerah bupati/walikota dan wakil bupati/wakil bupati. Terhadap permasalahan syarat minimal/batas usia ini terdapat perbedaan penghitungan dari waktu ke waktu diantaranya KPU pernah menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2010, sebagai pelaksanaan lebih lanjut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang menetapkan syarat usia Calon Kepala Daerah dihitung pada saat pendaftaran.
Namun saat ini perhitungan berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 yang mengatur perhitungan batas usia minimal terhitung sejak penetapan pasangan calon.
“Atas dasar itu lah Mahkamah berpendapat terhadap batas usia minimal calon kepala daerah dari waktu ke waktu mengalami perubahan, sehingga dapat menimbulkan ketidakadilan dan tidak memberikan kepastian hukum,” terang Prof Abdul Latif kepada awak media.
Majelis Mahkamah menggunakan metode penafsiran secara filosofis yang mendekati semangat konstitusi yang pada hakikatnya dalam sistem tata negara diatur dalam UUD 1945. Di dalam UUD 1945 yang diatur jabatan pada badan dan alat kelengkapan bukan tahapan/ tata cara pengisian jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasa 6 ayat (2) UUD 1945.
Menurut ahli selaku akademisi Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Prof Abdul Latif menjelaskan meskipun UUD 1945 tersebut diatas mengatur mengenai presiden dan wakil presiden tetapi bukan hal mustahil untuk menggunakan metode penafsiran filosofis yang mendekati semangat konstitusi karena sejatinya jabatan kepala daerah sebagai bagian alat kelengkapan negara.
Maka menurutnya sudah seharusnya usia minimum bagi jabatan-jabatan dalam sistem hukum tata negara Republik Indonesia haruslah dimaknai usia ketika yang bersangkutan dilantik dan diberi wewenang oleh negara untuk melakukan suatu tindakan pemerintahan melekat semua hak dan kewajibannya sebagai badan, alat kenegaraan maupun sebagai penyelenggara negara. Dengan demikian penghitungan usia bagi calon pejabat atau calon penyelenggara negara termasuk calon kepala daerah haruslah dihitung sejak tanggal pelantikannya atau sesaat setelah berakhirnya statusnya sebagai calon, baik sebagai calon pendaftar, pasangan calon maupun calon terpilih.
Hal senada juga disampaikan oleh Dr. Teguh Satya Bhakti Akademisi dari Universitas Krisnadwipayana mengatakan bahwa penambahan frasa di putusan MA batasan usia itu sejak penetapan pasangan calon. Penambahan Frasa dalam peraturan KPU ini oleh sebagian kelompok masyarakat yang dalam hal ini pemohon frasa bahwa itu merugikan hak-hak hukumnya sehingga mengajukan permohonan yudisial review hak uji materil di Mahkamah Agung. Karena ada perbedaan penafsiran antara penyelenggara dengan warga negara peserta partai politik, itu mengambil jalan tengah bahwa batas usia itu terhitung sejak pelantikan.
Dengan demikian menurut Dr. Teguh MA sudah memberikan kepastian hukum, tidak ada lagi perbedaan tafsir, baik penyelenggara maupun para peserta tentang batasan usia calon Gubernur, Bupati, Walikota maupun wakilnya dalam penyelenggaraan pelaksanaan pilkada yang akan datang. Dengan demikian sudah menjadi Final. Dan putusan MA ini berbeda dengan putusan MK.
“Kalo MK kan persoalan pengujian undang-undang ada konstitusional right, hal konstitusional yang di langgar sementara kalau MA ini adanya hak-hak hukum yang di langgar dan objek permohonannya adalah peraturan, perundang-undangan dibawah Undang -Undang. Jadi apa yang diputus oleh Mahkamah Agung bukan memberikan kontroversi justru memberikan kepastian hukum bagi penyelenggara dan peserta para partai politik”. Pungkas Dr. Teguh.
(Edison)
Leave a Reply