Beberin.com, Jakarta – Dekan Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Prof. Dr. H. Abdul Latif, SH.,M.Hum hadir dalam Seminar Nasional bertajuk Peran Jaksa Agung Muda Pidana Militer dalam Acara Koneksitas Pada Sistem Peradilan Pidana di Indonesia yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum Militer di Aula Graha Pusziad, Senin (19/6/2023).
Dekan FH UNKRIS, Prof. Dr. H. Abdul Latif, SH.,M.Hum mengatakan bahwa dirinya sangat mengapresiasi acara Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh STHM ini, Karena acara ini menurutnya sangat bermanfaat sekali bagi para penegak hukum, akademisi, dan khususnya mahasiswa hukum di Indonesia agar lebih mengenal secara mendalam terkait koneksitas pada sistem peradilan militer di Indonesia.
Prof. Abdul Latif lebih lanjut mengatakan bahwa berkembang saat ini Hukum Responsif yaitu teori hukum yang menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekedar keadilan prosedural, tetapi mampu berfungsi sebagai fasilitator dari respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial. Dan terkait permasalahan penanganan perkara koneksitas wajib/ harus dikoneksitaskan dan untuk menentukan wajib dikoneksitaskan, perlu tolok ukur yang jelas yaitu :
Pertama, dari subjek hukumnya, karena perkara koneksitas pelaku/subyek hukumnya terdapat dua orang atau lebih yang tunduk dalam lingkup ranah hukum yang berbeda. Bagi pelaku anggota militer harus tunduk sebagai subjek hukum anggota militer dalam ranah hukum publik, hal ini perlu dikualifikasi apakah subjek hukum anggota militer tunduk pada perbuatan pidana yang dilakukan atau sebaliknya. sedangkan pihak sipil harus tunduk sebagai subjek hukum pribadi terhadap tindak pidana koneksitas yg dilakukan secara bersama-sama, sehingga perbedaan subjek hukum pelaku dalam perkara koneksitas dapat dilihat dari tingkat kesalahan dan tanggungjawab pidana dalam penjatuhan hukuman pemidanaan.
Kedua, kualifikasi perbuatan tindak pidana koneksitas harus dilihat dari peran aktif dari dua subjek hukum atau lebih karena itu menurut pendapat saya kalau yang lebih berperan anggota militernya dalam perkara koneksitas maka seharusnya diadili di pengadilan militer, hal ini merupakan suatu pilihan sejalan dengan penerapan asas hukum apakah lebih mengedepankan penyelesaiannya prinsip atau asas hukum “ultimum remedium” atau premium remedium. Penerapan asas hukum ini tentunya masih perlu dikoordinasikan secara teknis peradilan dalam menentukan apakah perkara konrksitas harus mutlak dikoneksitaskan atau ada alternatif dengan cara perkaranya dilakukan dengan splising yaitu dengan merujuk kedua tolok ukur yang saya sebutkan di atas.
Tentu harapan saya sebagai akademisi perkara koneksitas memang masih harus diselesaikan secara koordinasi dan terpadu oleh aparatur penegak hukum yang berkompoten, dengan catatan harus mengedepankan hukum sebagai sarana yang harus menerapkan Hukum Responsif terhadap ketentuan-ketentuan dan Aspirasi- aspirasi masyarakat yang berkembang dewasa ini.
Konsep Hukum Responsif yang diperkenalkan oleh Nonet dan Philip Selznick saya nilai mampu membuat pandangan kritis dan menggambarkan bahwa ada hubungan signifikan antara sistem pemerintahan sebuah negara dengan hukum yang dianutnya. Dalam sistem yang otoriter hukum menjadi subordinasi dari politik. Artinya hukum mengikuti politik. Dengan kata lain hukum digunakan masih sekedar menunjang politik penguasa. Sebaliknya dalam sistem Demokratis, hukum terpisah secara diametral dari Politik. Artinya hukum bukan jadi bagian dari politik akan tetapi hukum menjadi acuan berpolitik dari sebuah bangsa.
Prof. Abdul Latif menerangkan bahwa ada 7 point yang harus diperhatikan yaitu ;
1. Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU Kejaksaan menyatakan “Jaksa Agung adalah Penuntut Umum Tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pasal 35 ayat (1) huruf i UU Kejaksaan menyatakan “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mendelegasikan sebagian kewenangan penuntutan kepada Oditur Jenderal”. Penjelasan Pasal 57 UU Peradilan Militer menyatakan “Oditur Jenderal selalu Penuntut Umum Tertinggi di Lingkungan ABRI bertanggungjawab dalam teknis penuntutan kepada Jaksa Agung selaku Penuntut Umum Tertinggi di NKRI dan bertanggungjawab dalam pembinaan kepada Panglima”. Dengan demikian, Panglima tidak memiliki kewenangan penuntutan dan tidak berwenang memberikan wewenang penuntutan kepada Oditur Jenderal. Panglima sebagai Administrator hanya mengangkat Oditur Jenderal dalam kedudukannya sebagai administrator. Sedangkan yang berwenang mengangkat dan melantik Oditur Jenderal sebagai Penuntut Umum Tertinggi di lingkungan militer adalah Jaksa Agung selaku Penuntut Umum Tertinggi di NKRI.
2. Berdasarkan Peraturan Kejaksaan Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI menyatakan bahwa Tugas dan fungsi Jampidmil adalah melakukan: Penanganan Perkara Koneksitas dan Koordinasi Teknis Penuntutan, yang keduanya bertujuan untuk mencegah terjadinya Disparitas Penuntutan, baik disparitas penerapan hukum (penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penerapan pasal, tuntutan) maupun penerapan sanksi pidana. Penanganan perkara koneksitas merupakan penanganan perkara yang dilakukan oleh Jaksa selalu PU bersama-sama dengan Oditur selalu PU di lingkungan militer terhadap perkara yang berdasarkan HASIL PENELITIAN BERSAMA disepakati berdasarkan Keputusan Jaksa Agung setelah mendengar pertimbangan Panglima, untuk ditangani secara Koneksitas. Sehingga, meskipun suatu memenuhi unsur koneksitas namun tidak semua perkara dapat dikoneksitas. Tergantung HASIL PENELITIAN BERSAMA yang saat ini didominasi oleh kepentingan militer. Sedangkan, koordinasi teknis penuntutan adalah tindakan Jampidmil untuk melakukan koordinasi baik terhadap penuntutan yang dilakukan oleh Kejaksaan maupun Militer agar tidak terjadi disparitas penuntutan. Termasuk semua perkara pidana di lingkungan militer yang tidak dikoneksitas.
3. Oditur Jenderal dan Jaksa sama-sama Penuntut Umum. Dalam praktiknya, Oditur tidak ingin disebut Penuntut Umum, karena menurutnya mereka bukan Penuntut Umum melainkan Penuntut Khusus. Padahal, frasa “Umum” dalam frasa “Penuntut Umum” adalah adanya “Kepentingan Umum” yang diwakili oleh Jaksa ataupun Oditur, sehingga keduanya merupakan Penuntut Umum yang bertanggungjawab kepada Jaksa Agung selaku Penuntut Umum Tertinggi di NKRI.
4. Perlu membuat suatu pedoman yang menjadi kesepakatan bersama agar pelaksanaan penanganan perkara koneksitas berjalan secara harmonis berdasarkan KUHAP dan KUHAPM.
5. Oleh karena kewenangan Penuntutan yang dimiliki oleh Oditur merupakan delegasi kewenangan dari Jaksa Agung maka diperlukan satu kode etik yang mengatur etika jaksa dan oditur dalam melakukan tugas sebagai Penuntut Umum.
6. Bahwa baik KUHAP maupun UU Peradilan Militer menyatakan ketika terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh Sipil dan Militer maka perkara tersebut harus diadili di peradilan umum, kecuali berdasarkan pertimbangan Jaksa Agung perkara tersebut diadili di peradilan militer. KUHAP dan UU Peradilan Militer pada dasarnya menganut Supremasi Sipil dan bukan Supremasi Militer.
(Edison)
Leave a Reply