Beberin.com, Jakarta.- Tahun ini, di tengah suasana muram dunia akibat pandemi covid-19, bangsa Indonesia akan memperingati HUT Proklamasi Kemerdekaan yang ke-76.
Pandemi bukan hanya menguji kompetensi pemerintahan kita dalam mengelola krisis yang dipicu oleh pandemi, tetapi juga menguji seberapa kuat bangunan bernegara yang sudah kita bangun selama 76 tahun.
Saat ini bangsa kita sedang berhadap-hadapan dengan dua tantangan besar. Pertama, kita berhadapan dengan krisis yang diperparah oleh pandemi, yaitu krisis kesehatan dan ekonomi.
Kedua, kita juga berhadapan dengan krisis politik yang bukan hanya berujung pada lumpuhnya negara dalam merespon krisis akibat pandemi, tetapi mengarah pada apa yang disebut Sukarno sebagai krisis “gezag”.
Krisis gezag adalah krisis yang menurunkan wibawa simbol-simbol Negara, seperti ketidakpercayaan pada pejabat, lembaga, dan simbol-simbol Negara. Ini terjadi karena praktek politik yang merusak negara: korupsi, penegakan hukum yang tebang pilih, kebijakan politik yang merugikan rakyat, dan lain-lain. Bung Karno menyebut krisis gezag sebagai krisis paling berbahaya karena bisa memicu disintegrasi sosia dan runtuhnya bangunan kebangsaan.
Baik krisis yang dipertajam oleh pandemi maupun krisis gezag bermuasal dari akar masalah yang sama: tata kelola kekuasaan yang hanya dipegang oleh segelintir orang untuk melayani segelintir orang. Kita sering menyebutnya: Oligarki.
Sementara itu, kalau kita lihat konfigurasi politik Indonesia, hanya dua kubu yang dominan mewarnai politik Indonenesia: poros Istana versus poros oposisi. Poros istana meliputi individu maupun kekuatan politik (partai-partai pendukung pemerintah) yang sedang berada di lingkaran kekuasaan. Sedangkan poros oposisi meliputi Demokrat (SBY), PKS, dan kelompok konservatif.
Masalahnya, kalau kita periksa rekam jejak dua poros itu, mereka bukanlah wajah baru. Merekalah yang mewarnai politik Indonesia sejak pasca reformasi hingga hari ini.
Sudah terbukti, dua dekade pasca reformasi, kedua poros yang silih berganti memimpin Indonesia itu tidak bisa membawa Indonesia keluar dari lilitan korupsi, kemiskinan, dan ketimpangan ekonomi.
Kami, partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA), partai baru yang bertekad mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, yaitu masyarakat adil dan makmur, menganggap kedua poros itu tak bisa diharapkan untuk membawa Indonesia keluar dari dua krisis yang dihadapi Indonesia saat ini.
Karena itu, kami menyerukan pembangunan Poros Politik Baru sebagai payung politik untuk semua individu maupun organisasi sosial-politik yang bertekad memperjuangkan Indonesia yang lebih baik, demokratis, adil dan makmur.
Poros Politik Baru ini akan mengusung politik anti-oligarki, yaitu penolakan terhadap segelintir elit-kaya yang memanfaatkan kekuasaan politik sekedar untuk melayani kepentingannya: menumpuk kekayaan.
Poros politik baru ini akan mengusung dua platform utama. Pertama, Politik kesejahteraan, yaitu memperjuangkan seperangkat kebijakan ekonomi dan politik untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup seluruh rakyat Indonesia.
Kedua, politik yang bersih dan demokratis, yang terwujud dalam penyelenggaraan kehidupan politik yang bersifat partisipatif dan transparan.
Kami percaya, korupsi bisa diperangi kalau partisipasi rakyat diperkuat, pengelolaan negara makin transparan, kemerdekaan pers dijamin, penegakan hukum yang terpercaya, dan penjaminan hak-hak politik rakyat.
(Hafidz mabrur)
Leave a Reply