Pandangan Prof Abdul Latif Terkait Pernyataan Ketua MPR

Prof Abdul Latif, Dekan FH Universitas Krisnadwipayana (UNKRIS)

Beberin.com, Jakarta – Pemikiran Ketua MPR, Bambang Soesatyo tidak lebih sebagai wacana saja demikian pandangan Prof Abdul Latif selaku Dekan FH UNKRIS, Minggu (12/5).

Kita tahu bahwa belum lama ini Ketua MPR, Bambang Soesatyo mengatakan di media online bahwa pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pemilu 2024, Prabowo Gibran dan Rakabuming Raka sangat sulit untuk dapat dijegal. Bambang Soesatyo juga menyampaikan bahwa menurut hasil kajian Badan Pengkajian MPR RI dan Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR, pasangan presiden dan wakil presiden terpilih yang sudah ditetapkan oleh ketetapan KPU harus diperkuat dengan produk hukum konstitusi berupa ketetapan MPR.

Terkait hal tersebut Prof Abdul Latif berpendapat bahwa hal tersebut tidak dapat dibenarkan, karena ketetapan MPR selain tidak dikenal dalam ranah hukum konstitusi juga tidak berdasar hukum berupa ketetapan MPR sebagai penguatan ketetapan KPU dalam tindakan hukum Pemerintahan oleh organ MPR.

Prof Abdul Latif mengatakan bahwa kita harus juga memperhatikan pasca reformasi bahwa sesuai Pasal 2 (1) UUD pasca reformasi, MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi Negara, karena itu MPR juga harus tunduk kepada UUD 1945 pasca amandemen sebagai supremasi Hukum, bukan lagi lembaga MPR.

Jadi apa yang menjadi hasil kajian dari badan kajian MPR tersebut menurut Prof Abdul Latif hanya sebagai pendapat dan wacana, yang menghendaki MPR, harus menetapkan atau mengukuhkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih berdasarkan Ketetapan (Beschikking) KPU.

Terkait amandemen Pasal 9 UUD 1945 tersebut, Prof Abdul Latif mantan hakim Agung mengatakan bahwa kedepan ini tentunya kapan dan ini tidak ada kepastian, sebaiknya yang dipikirkan dan mendesak, perlu ditambahkan dalam UU Pemilu, bahwa SK penetapan KPU tentang Pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam pemilihan umum, harus ditetapkan lebih lanjut dengan SK MPR.

Untuk kita ketahui bahwa aturan pelantikan presiden dan wapres termaktub dalam UUD 1945 pasal 3 dan 9. Pasal 3 menyebut bahwa MPR melantik presiden dan wakil presiden. Pasal 9 menjelaskan soal jalannya pelantikan itu.

Pasal 3 ayat (2) UUD 1945 Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat.

Sedangkan berdasarkan Pasal 11 huruf b UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPR, berbunyi : MPR mempunyai tugas dan wewenang melantik Presiden dan wakil Presiden hasil Pemilihan Umum dalam sidang Paripurna MPR.

Pasal 32 UU No.27 tahun 2009 berbunyi : MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam rapat paripurna MPR.

“Pemikiran Bamsoet tidak lebih sebagai wacana saja, bukan hukum, karena itu kedepan kalau hasil kajian tersebut kalau mau diterapkan harus terlebih dahulu melalui amandemen UUD 1945,” ujar Prof Abdul Latif.

“Jadi apa yang diwacanakan MPR tersebut untuk mengeluarkan beschikking / penetapan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, secara konstitusional, hanya melantik sesuai Pasal 9 UUD 1945 reformasi. Karena itu apabila dilakukan hal tersebut tetap MPR tidak berwenang mengeluarkan SK MPR dalam mengukuhkan Presiden dan Wakil presiden terpilih yang sudah ditetapkan oleh KPU hal ini tentunya suatu kelemahan UUD 1945 reformasi.” Pungkas Prof Abdul Latif.

(Edison)