Beberin.com, Jakarta – Prof Abdul Latif yang juga mantan Hakim Agung yang sekarang menjabat Dekan FH UNKRIS hadir pada sidang gugatan PDI Perjuangan kepada KPU ke PTUN, Selasa (2/4) mengatakan bahwa gugatan yang dilakukan oleh PDI Perjuangan lebih merujuk kepada objeknya.
Terkait gugatan PDIP ke PTUN, Prof Abdul Latif mengatakan “Perlu saya jelaskan untuk lebih merujuk kepada objek. Perlu dipahami bahwa objek gugatan kita disini adalah tindakan faktual yang sekarang ini sudah menjadi kompetensi dari pada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tindakan faktual ini adalah suatu kewajiban bagi seorang organ atau pun pejabat TUN dalam menyelenggarakan Pemerintahan itu yang tidak dilakukan.”
Prof Abdul Latif lebih lanjut menjelaskan bahwa mereka disini mengajukan gugatan bukan persoalan prosedur dan tahapan dalam bentuk objek yang selama ini yang kita pahami sebagai beschikking untuk mengecek keabsahan.
“Gugatan kami ini adalah tindakan faktual yang seharusnya dilakukan oleh KPU yaitu berupa tiga, Menerima pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden khususnya Gibran yang tidak memenuhi syarat mengenai umur yang ditentukan oleh peraturan KPU itu sendiri di dalam pasal 3 ayat 1 huruf q sudah jelas, calon presiden dan wakil presiden harus berumur paling bawah 40 tahun, itu ya tolong nanti di koreksi,” jelasnya.
Ketika proses pendaftaran dilakukan sudah diketahui oleh KPU sendiri sebagai penyelenggara, bahwa syarat menjadi calon sebagaimana yang tertuang dalam pasal 13 huruf q itu sudah ditentukan di dalam Undang-Undang yang diatur didalam pasal 169 huruf q juga UU No. 7 tahun 2017. Ini semua dilanggar, yang seharusnya dalam kapasitas sebagai organ badan pejabat pemerintah harus melakukan tindakan nyata berupa mencoret calon yang bersangkutan yang tidak memenuhi syarat dan tidak menerima. Ini buktinya ada suatu perbuatan yang seharusnya dilakukan yaitu menolak atau tidak menerima calon wakil presiden yang tidak memenuhi syarat, ini yang pertama, yang dilanggar adalah peraturan perundang-undangan PKPU itu sendiri dan juga perundang-undangan Pemilihan Umum.
“Saya kira ini yang harus kami buktikan nanti secara faktual. Dalam konteks perbuatan, bukan kepada beschikking atau administrasi. Jadi perbuatan faktual yang seharusnya dilakukan oleh organ negara atau badan pemerintahan ataupun pejabat pemerintahan yang memiliki kewenangan untuk itu, tetapi tidak digunakan sesuai peruntukannya. Ini adalah penggunaan kewenangan yang dilakukan secara tidak sah, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”
“KPU tidak berwenang menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan tindakan mengatur dan melaksanakan amar putusan MK No. 90/2023. Meskipun putusan MK bersifat erga omnes (mengikat umum), yang berwenang melaksanakan putusan MK tersebut adalah DPR dan Presiden. karena itu putusan MK berlaku prospektif (kedepan), artinya pasal 169 huruf q UU No. 7/2017 tentang Pemilu, harus dinormatifkan dalam bentuk UU tidak boleh KPU membuat atau merubah PKPU No. 19/2023.”
Lanjut Prof Abdul Latif “Tindakan KPU tersebut bertentangan dengan kewajiban hukumnya untuk menegakkan Peraturan hukum Perundang-undangan yang berlaku. Untuk kepastian hukum, tindakan ini menurut hukum administrasi pemerintahan dikualifikasi sebagai perbuatan omission yang digolongkon sebagai perbuatan melanggar hukum ( onrechtmagige overheids daad).”
Prof Abdul latif menerangkan bahwa mereka semua hadir di PTUN sebagai perbuatan pemerintahan yang melanggar hukum yang dalam undang-undang biasa disebut istilahnya Perbuatan Melawan Hukum (PMH) oleh penguasa atau pemerintahan dalam menjalankan pemerintahan, itu yang terkait degan objek.
Sekarang juga disana-sini masih juga ada pandangan bahwa seolah-olah ini mengisyaratkan upaya administratif dalam hal gugatan kami itu tidak lagi memenuhi prosedur untuk upaya administratif, kenapa?, karena ini bukan sengketa persoalan beschikking tetapi ini perbuatan nyata yang harus dilakukan oleh KPU itu sendiri sebagai organ pemerintahan dan ataupun sebagai pejabat pemerintahan harus melakukan. Tetapi dalam konteks berbagai perkembangan yang ada sekarang ini, peraturan Mahkamah Agung sudah mengatur soal itu, dan yang terakhir kalau tidak salah telah dirumuskan di situ bahwa dalam hal gugatan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah sebagai perbuatan nyata tidak lagi memerlukan upaya administratif.
Dengan demikian menurut Dekan FH UNKRIS ini tidak ada syarat upaya administratif, administratif keberatan, administratif batas usia menentukan. Semua itu tidak ada, tetapi tahapan perbuatan yang dilakukan itu bisa dilakukan sejak awal pendaftaran, diterima, diloloskan sampai seterusnya, nah kalau ini dibatalkan konsekuensi hukumnya, apapun yang terjadi semua batal. Istilah kalau ibunya haram maka anaknya pun juga haram dari segi hukum islamnya.
Akibat hukum yang ditimbulkan, menurut Prof Abdul Latif adalah suatu perbuatan yang memang nyata-nyata bisa dibuktikan sebagai perbuatan melawan hukum maka segala akibat hukumnya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kembali kepada peristiwa status quo semula.
“Keliatannya secara faktual KPU itu melakukan suatu tindakan nyata menggunakan dasar putusan MK, Sehingga apa yang disampaikan kawan kami telah mengalami perubahan, itu menunjukkan salah juga, karena memperlakukan putusan MK secara berlaku surut. Setiap warga negara dijamin hak asasi nya untuk tidak diperlakukan hukum dengan berlaku surut. Itu jaminan konstitusi.” Pungkasnya.
(Edison)
Leave a Reply