Beberin.com, JAKARTA – Penerbit Bentang Pustaka Yogyakarta resmi luncurkan Buku Novel Pangeran Dari Timur di Musium Bank Indonesia, Sabtu (14/3). Buku Novel setebal sekitar hampir 600 halaman ini mengangkat cerita tentang seorang tokoh pelukis maestro Raden Saleh yang ditulis oleh Iksaka Banu dan Kurnia Effendi.
Hadir pula dalam peluncuran novel ini seorang pelukis dari Ubud, Widi S. Martodihardjo, Widi akan melakukan performing art dengan melukis di tempat saat dibacakan petikan novelnya. Widi juga merespons setiap episode Raden Saleh dalam bentuk karya rupa sejak Oktober 2019. Hasil karyanya juga dipamerkan pada acara peluncuran novel kali ini, dan rencananya setiap diskusi di sejumlah kota Pelukis dari Ubud ini akan tetap diikut sertakan. Widi akan melakukan performing art dengan melukis di tempat saat dibacakan petikan novelnya.
Iksaka Banu mengatakan “Di Negara kita ini Semua tokoh tertinggi terlalu disakralkan, terlalu tinggi posisinya sehingga justru jauh dengan masyarakat, tapi itu bukan salah mereka juga, karena dimasa-masa lalu cara kita menjelaskan sejarah pada anak-anak kita memang begitu, dingin, kaku berjarak sehingga tokoh yang kita bahas dalam buku sejarah itu justru tidak terpegang para pembacanya.”
“Raden Salah adalah suatu subyek yang sangat penting dan sangat indah untuk dituliskan jadi sebuah novel yang harapan kita melalui bahasa novel yang sederhana kita bisa meraih anak-anak muda kita lebih mengenal sejarah. Kalau mereka sudah mulai tertarik membaca yang versi ringannya tentu mereka akan tertarik untuk membaca yang versi lebih komprehensif dari buku sejarah” ujar Iksaka Banu, salah satu penulis Pangeran Dari Timur.
Pangeran Dari Timur adalah sebuah novel fiksi sejarah yang memadupadankan dua plot dalam 2 zaman (abad ke-19 dan 20), Novel ini digarap selama 20 tahun dengan pasang dan surut, di antara buku-buku mereka yang lain. Dalam novel ini, kedua pengarang mengangkat sosok maestro pelukis Raden Saleh melalui sudut pandang realitas, melepaskannya dari berbagai mitos, dengan meminjam pikiran kaum muda di masa pra kemerdekaan RI, yang memperdebatkannya.
Novel ini menceritakan Raden Saleh yang masih terlalu muda ketika dipisahkan dari keluarganya di Terbaya, Semarang. Di tengah-tengah kecamuk Perang Jawa, ketika pamannya diberitakan meninggal dunia, ia diberangkatkan ke Belanda. Kejeniusan dan tangan dinginnya dalam mengayunkan kuas tercium oleh para pejabat kolonial yang membuat dia dikirim ribuan mil ke Holland, negeri yang selama ini hanya didengarnya lewat cerita para kaum terpelajar Jawa. Terbukti ia mampu melukis bukan hanya sejarah dirinya yang gemerlap, melainkan juga wajah dan peristiwa zaman Romantis di Eropa. Bertahun-tahun hidup di tanah seberang, sang Pangeran justru merasa asing di tanah kelahirannya. Namun, tetap saja panggilan darah sebagai bangsa Jawa tidak dapat disembunyikannya di lembaran kanvas. Ditambah kegetiran yang menghiasi masa tua, karya dan hidup Raden Saleh berhasil menciptakan perdebatan sengit di kalangan kaum pemaham seni di masa pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia, satu abad berikutnya.
Dalam Novel ini juga diceritakan tokoh karakter Syamsudin, seorang arsitek awal abad 20, menguasai pengetahuan seni yang berkembang di masanya. Dia berhasil menularkan minatnya terhadap lukisan Raden Saleh kepada Ratna Juwita, gadis pujaannya. Di sisi yang berbeda, Syafei, dengan gairah pemberontaknya, menempuh jalan keras menuju cita-cita sebagai bangsa merdeka. Dalam kekalutan panjang sosial dan politik sebuah bangsa yang sedang memperjuangkan nasibnya, kisah cinta selalu memberikan nyala api: hangat dan berbahaya. Setiap orang memutuskan nasibnya melalui ucapan dan sikap, termasuk Pit Liong yang memilih mengambil jarak dari cintanya. Mereka melengkapi sejarah berdirinya sebuah negeri, dengan hasrat, ambisi, dan gelora masing-masing.
Novel Pangeran dari Timur, tebal 600 halaman, diterbitkan Bentang Pustaka Yogyakarta pada Februari 2020. Syukuran juga dilakukan di Rumah Raden Saleh (di RS PGI Cikini ) pada Sabtu, 7 Maret 2020). Selanjutnya akan didiskusikan dalam beberapa kota antara lain Bogor, Bandung, Yogya, Solo, Semarang, Bali, dan Makassar. Kedua penulis bersama pelukis Widi S. Martodihardjo juga diundang ke Festifal Tong Tong Fair di Den Haag, Negeri Belanda, pada akhir 28 Mei – 7 Juni 2020.
(MARSON)
Leave a Reply