Beberin.com, Jakarta – Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana (UNKRIS) melaksanakan “Ujian Terbuka Promosi Doktor Ilmu Hukum” yang dipimpin langsung oleh Rektor Universitas Krisnadwipayana, Dr. Ir. Ayub Muktiono, M.SIP, CIQaR dan Prof.Dr.H. Abdul Latif, SH.M.H selaku Dekan FH UNKRIS dan Promotor. Serta turut dihadiri oleh Prof.Dr. Gayus T Lumbun, SH.,M.H (Mantan Hakim Agung RI) Ketua Pembina Yayasan UNKRIS, juga hadir Amir Karyatin, SH Ketua Pengurus Yayasan UNKRIS, dan pejabat lainnya termasuk A.Bondan, SH.,M.H (Ketua PN Jakarta Barat).
Dalam ujian terbuka promosi Doktor dalam ilmu hukum ini Fakultas Hukum UNKRIS berhasil meluluskan mahasiswa bernama Hamim Achmad dengan gelar Doktor dengan predikat Cumlaude.
Dr. Hamim Achmadi, SH., MH yang berhasil ditemui mengatakan ” Saya berterimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung saya dalam menyelesaikan Disertasi. Terkhusus untuk Promotor saya Prof. Abdul Latif dan Co Promotor yang telah banyak membantu sehingga saya bisa menyelesaikan Program S3 dengan tepat waktu.”
Hamim menerangkan bahwa peran promotor sangatlah penting, dan Dia sebagai mahasiswa program S3 sangat terbantu sekali karena menurutnya keterbatasan waktu menjadi kendala utama. Dirinya merasa beruntung karena di UNKRIS dirinya mendapatkan promotor yang cukup kooperatif dengan waktu yang disediakan untuk mahasiswa bisa bertemu cukup banyak. Itu cukup membantu sekali bagi mahasiswa di Program S3 yang rata-rata adalah karyawan.
Hamim menceritakan bahwa diawal penulisan Disertasi dirinya bingung mau menulis tentang apa, disinilah dirinya merasakan pentingnya peran seorang promotor yang dapat membimbing dan mengarahkan terkait Disertasi apa yang akan dia tulis.
Dalam Disertasinya yang berjudul “Kepastian Hukum Terhadap Pelaksanaan Eksekusi Putusan Perdata Yang Efektif dan Efisien Dapat Menjamin Kemudahan Berbisnis di Indonesia”. Hamim berpendapat bahwa eksekusi terhadap putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap dan mengandung makna bahwa Putusan yang bersangkutan tidak bisa diubah lagi, sehingga hubungan hukum diantara pihak yang berperkara telah tetap dan pasti (fixed and certain) untuk selama-lamanya.
Dr. Hamim Achmadi, SH.,MH berpendapat bahwa Faktor utama yang menghambat pelaksanaan putusan perdata sehingga tidak efektif dan efisien adalah diperkenankannya upaya hukum Perlawanan atau bantahan baik oleh pihak ketiga / derden verzet sesuai Pasal 195 ayat (6) HIR / Pasal 206 ayat (6) RBg, maupun pihak perkara (Pasal 207 HIT / Pasal 255 RBg dengan tujuan untuk menghambat pelaksanaan Putusan perdata (eksekusi) yang telah berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu upaya hukum Perlawanan atau Bantahan terhadap “putusan yang telah berkekuatan hukum tetap” (incracht van gewijsde), merupakan pelanggaran terhadap salah satu asas eksekusi. Pengadilan Negeri dalam hal ini tidak dapat menolak begitu saja ketika menerima pendaftaran gugatan Perlawanan atau Bantahan, karena dibatasi dengan aturan yang dikenal dengan asas ius curia novit sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili”.
Dr. Hamim Achmadi, SH.,MH menyimpulkan bahwa;
1. Lamanya penyelesaian perkara tidak hanya akan mempengaruhi kepercayaan publik terhadap Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya, melainkan juga mempengaruhi kemudahan berusaha, sebagai peluang investasi dan kredibilitas Indonesia di dunia internasional;
2. Faktor utama yang menghambat pelaksanaan eksekusi putusan perdata sehingga tidak menjadi efektif dan efisien adalah adanya upaya hukum yang diperbolehkan oleh undang-undang baik kepada tereksekusi, pihak ketiga (pihak diluar perkara) untuk mengajukan perlawanan atau bantahan eksekusi terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
3. Pengadilan Negeri tidak boleh menolak begitu saja terhadap perkara yang diajukan kepadanya karena dibatasi oleh asas ius curia novit sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 10 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam Disertasinya Dr. Hamim Achmadi, SH.,MH menyarankan;
1. Agar pelaksanaan eksekusi putusan perdata menjadi efektif dan efisien seharusnya ketentuan yang mengatur mengenai Perlawanan atau Bantahan terhadap pelaksanaan eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (6) HIR/Pasal 206 ayat (6) RBg (derden verzet) dan pasal 207 HIR / Pasal 225 RBg (Verzet) segera dihapus, oleh karena dengan diajukannya Perlawanan atau Bantahan baik oleh pihak ketiga ataupun pihak perkara sendiri, maka perkara perkara yang seharusnya sudah selesai menjadi mental kembali;
2. Sebagai solusi atas kendala tersebut Sebaiknya Mahkamah Agung Republik Indonesia menertibkan Surat Edaran Mahkamah Agung terkait dengan pembatasan pengajuan Perlawanan atau Bantahan dengan menggunakan mekanisme Proses Dismissal, sebagaimana dilaksanakan pada Peradilan Tata Usaha Negara.
(Edison)
Leave a Reply