Beberin.com, Jakarta – Gugatan perdata yang dilayangkan Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan, Mantan Direktur Gas Pertamina Hari Karyuliarto, dan Mantan Vice President Business Development and Commercial Gas Pertamina Djohardi Angga Kusumah kepada pihak Tergugat, yakni PT Pricewaterhouse Coopers Consulting Indonesia (PwC), akan dilanjutkan dengan sidang pokok perkara pada 1 Februari 2024.
Kuasa Hukum Penggugat, Humisar Sahala Panjaitan saat Diskusi ‘Ngopi Bareng Awak Media’ yang didukung oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) di Jakarta, Jumat (26/1) mengatakan proses mediasi yang dilakukan oleh PN Jakarta Selatan menghasilkan deadlock. PwC bersikukuh tidak mau menerima gugatan, maka kliennya akan bersiap menghadapi PwC dalam Persidangan Pokok Perkara.
“PwC kami gugat karena dalam Laporan Investigasi Pengelolaan Bisnis Portofolio LNG Pertamina tertanggal 23 Desember 2020, telah menyajikan beberapa kesimpulan yang Prematur, Tidak Akurat, Gegabah, dan Menyesatkan. Misalnya, dari 3 orang Klien kami, PwC hanya mewawancari 1 orang sebagai auditee. PwC pun telah keliru atau salah dalam memahami Anggaran Dasar Pertamina, PwC tidak membaca dan/atau tidak memahami Board Manual, RKAP, RJPP PT Pertamina (Persero), dan lain-lain.” jelas Sahala.
Kemudian lanjut Sahala, sebagaimana tertuang dalam Gugatan, Laporan PwC tersebut telah dijadikan sebagai salah satu dasar penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi Pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) di PT Pertamina (Persero) tahun 2011 – 2021 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang berimbas kepada nasib klien kami.
“Sebelumnya Ibu Karen Agustiawan juga pernah menyampaikan surat kepada PwC tertanggal 9 Oktober 2023 yang menyatakan keberatan terkait hasil laporan tersebut, namun tidak ada respon dari pihak PwC atas keberatan tersebut,” tambah Sahala.
Untuk itu terang Sahala, Penggugat meminta pertanggungajawaban hukum PwC atas kerugian materiil dan immateriil yang telah dan sedang dialami Karen Agustiawan sebesar Rp6.000.000.000,- (Enam Milyar Rupiah), dan yang dialami oleh Hari Karyuliarto sebesar Rp6.096.000.000,- (Enam Milyar Sembilah Puluh Enam Juta Rupiah). Sedangkan kerugian immaterial sebesar USD78.000.000 (Tujuh Puluh Delapan Juta Dolar Amerika Serikat) atau setara dengan Rp1.216.800.000.000 (Satu Trilyun Dua Ratus Enam Belas Milyar Delapan Ratus Juta Rupiah).
“Klien kami juga meminta PwC dihukum untuk mengumumkan permohonan maaf di Media Cetak dan Media Online secara serentak selama 3 (tiga) hari berturut-turut, agar diketahui oleh masyarakat paling lambat 3 (tiga) hari setelah putusan perkara ini berkekuatan hukum tetap. Dalam petitum terakhir gugatan, Klien kami meminta PwC dihukum membayar uang paksa (dwangsom) kepada Klien kami sejumlah Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) setiap harinya terhitung sejak PwC lalai menjalankan dan memenuhi isi putusan, termasuk meletakkan sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap harta bergerak milik PwC,” pungkasnya.
Sebagai informasi, sidang gugatan perdata telah berlangsung sebanyak empat kali. Pada sidang perdana tanggal 12 Desember 2023, PwC sebagai Tergugat tidak hadir di PN Jakarta Selatan tanpa alasan yang jelas, dan Majelis Hakim menunda selama satu minggu hingga 19 Desember 2023. Kemudian pada sidang kedua, PwC kembali tidak datang dan hanya diwakili oleh Kuasa Hukumnya, Lutfi, dari Law Firm Hadiputranto, Hadinoto & Partners (HHP). Ketua Majelis kemudian menunjuk Hakim PN Jakarta Selatan, Ahmad Samuar menjadi Mediator dalam perkara ini.
Pada sidang ketiga, 9 Januari 2024, Prinsipal PwC juga tidak hadir, dan diwakili oleh Kuasa Hukumnya. Penggugat di hadapan Mediator menyatakan akan tetap pada Gugatan, namun terbuka menerima proposal perdamaian dari pihak PwC. Mediator kemudian memberikan waktu hingga 23 januari 2024. Namun sampai persidangan terakhir pihak PwC bersikukuh tidak mengajukan proposal damai.
(Yuki.N)
Leave a Reply