FGD Urgensi Pembentukan Peraturan Tentang Nasihat-Nasihat Bidang Hukum Oleh MA Berlangsung Serius

Beberin.com, Jakarta – Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh Mahkamah Agung RI dengan tema ” Urgensi Pembentukan Peraturan Tentang Nasihat-Nasihat Bidang Hukum oleh Mahkamah Agung Dalam Menjalankan Kedudukannya Sebagai Lembaga Penasihat” yang diadakan di Hotel Manhattan Jakarta berlangsung serius dengan menghadirkan berbagai guru besar hukum sebagai narasumber yang dihadiri juga oleh berbagai praktisi dan profesi dibidang hukum, Selasa (7/3/2023).

Prof. Abdul Latif, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Krisnadwipayana Jakarta yang hadir sebagai salah satu narasumber mengatakan “Saya selaku narasumber, merespon baik rencana pengaturan nasihat nasihat bidang hukum yang selama ini sudah terjadi dalam praktik, namun sampai saat ini belum ada landasan hukum pelaksanaannya, karna itu diperlukan nomenklatur yang jelas untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat.”

Prof. Abdul Latif (tengah) sedang memberikan paparannya kepada peserta FGD terkait urgensi pembentukan Peraturan Tentang Nasehat-Nasehat dalam Bidang Hukum oleh MA dalam Menjalankan Kedudukannya sebagai Lembaga Penasihat

Menurut Prof. Abdul Latif yang pernah menjabat sebagai Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi Tingkat Kasasi pada Mahkamah Agung ini menjelaskan urgensinya peraturan nasehat dalam bidang hukum ini bertujuan untuk pelaksanaan fungsi Mahkamah Agung dalam kedudukan sebagai lembaga penasihat bidang hukum dalam merespon permintaan dari masyarakat.

Dalam paparannya Prof Abdul Latif menjelaskan selain kewenangan mengadili Mahkamah Agung juga berfungsi sebagai penasihat yang diatur dalam Di dalam ketentuan Pasal 14 Ayat [1] pasca amandemen UUDN Tahun 1945 dan Pasal 35 UU MA telah mengatur bahwa Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi, dan selain grasi juga rehabilitasi, namun sampai saat ini pertimbangan hukum
rehabilitasi, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur
pelaksanaannya.
Akan tetapi dalam Pasal 37 UU Mahkamah Agung telah mengatur bahwa Mahkamah Agung, memeberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain.

“Kemudian Pasal 25 UU Pokok Kekuasaan Kehakiman [UU No.48 Tahun 2009], MA berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada Pengadilan disemua lingkungan peradilan dan Pasal 38 UU Mahkamah Agung dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 tersebut,” papar Prof. Abdul Latif

Dari FGD ini menurut Prof Abdul Latif ada beberapa hal yang perlu disimpulkan yaitu,

1. Mahkamah Agung berwenang mengatur nasihat-nasihat bidang hukum atau pertimbangan dalam rangka kelancaran penyelenggaraan peradilan terhadap hal-hal yang belum cukup diatur dalam peraturan perundang-undangan.

2. Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan tersendiri apabila dianggap perlu untuk mencukupi atau melengkapi penyelenggaraan peradilan di Indonesia.

3. Pemberian nasihat-nasihat Bidang Hukum atau pertimbangan hukum terhadap Lembaga Pemerintahan Negara, belum terdapat adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur.

4. Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dan atau berwenang memberi petunjuk dalam upaya pelaksanaan penyelenggaraan peradilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

Diskusi berlangsung serius dan santai dengan berbagai lontaran pertanyaan baik pro dan kontra terkait pembentukan peraturan tentang nasehat dibidang hukum tersebut.

Prof. Jimly Asshiddiqie (dua dari kanan) sebagai narasumber memberikan ilmu hukum kepada para peserta FGD.

Prof. Jimly Asshiddiqie mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) yang pertama (2003-2008) yang sudah sangat terkenal di telinga masyarakat Indonesia mengatakan “Saya sarankan agar sistem peraturan internal dan juga surat-surat edaran dan Perma- Perma yang ada selama ini di evaluasi ulang, menyeluruh untuk menentukan kebijakan SEMA dan PERMA seperti apa yang seharusnya direvisi dan dikembangkan kedepan. Sekaligus juga memanfaatkan metode omnibus.

Yang kedua menurut Prof. Jimly khusus mengenai Fatwa, itu bagus sekali dibandingkan dengan MK yang tidak punya kewenangan tentang Fatwa.

“Sifat Fatwa oleh MA ada istilah Fatwa, Pendapat Hukum, ada juga pertimbangan hukum sebagaimana diatur oleh Undang-undang Dasar. Nah ini harus dirumuskan menjadi rumusan kebijakan bisa dituangkan dalam bentuk PERMA atau cukup SEMA” terang Prof. Jimly

Kalo SEMA menurutnya adalah aturan kebijakan, yaitu Kuasi (aturan), tapi kalo PERMA termasuk kategori resmi peraturan perundangan-undangan.

“Intinya diskusi ini sangat produktif, bagus. Saya mendapat pertanyaan wow canggih-canggih, bagus, terimakasih. Seneng saya mengedukasi di forum ini.” ujar Prof. Jimly.

Terkait perkembangan hukum di Indonesia Prof Jimly mengatakan “Ini kan negara hukum, ditegaskan secara definitif dalam Pasal 1 ayat (4) Negara Indonesia adalah Negara Hukum. “Bukan ialah tapi adalah” tegasnya. Nah, sebagai negara hukum secara kuantitatif kita no 4 negara terbesar di dunia. Tapi dari segi kualitasnya nomor urut rangking kualitas rule of law kita ini masih di nomor 64 ditahun lalu 2022. Jadi masih jauh sekali.”

Sidang pembentukan hukum di negara kita menurut Prof Jimly masih amburadul oleh karena itu kita masih menerima, mengadopsi sistem omnibus tehnik maksudnya untuk membenahi manata ulang perundangan-undangan termasuk kita harus memanfaatkan perkembangan ICT dengan kebijakan pemerintah. Satu data Indonesia dengan Perpres tahun 2019 itu harus dimanfaatkan agar satu data Indonesia itu aspek hukumnya dan peradilannya juga termasuk.

“Nah dalam hal ini MK dan MA harus kolaborasi. Jadi seluruh sistem peraturan perundang-undangan itu sendiri”, ujarnya.

 

Apriandy Iskandar Dalimunte, SH (berdasi merah) hadir sebagai Praktisi Hukum dalam FGD tentang Pembentukan Peraturan Tentang Nasihat Bidang Hukum oleh MA

Hadir juga dalam FGD ini Praktisi Hukum, Apriandy Iskandar Dalimunte, SH yang mengatakan bahwa dirinya selaku praktisi sangat mendukung sekali acara diskusi dibidang hukum seperti ini, karena pastinya sangat bermanfaat sekali untuk menambah ilmu dan pemahaman terhadap perkembangan hukum di Indonesia agar tujuan hukum yaitu kepastian, keadilan, dan manfaat hukum bisa terwujud.

Praktisi Hukum yang biasa disapa Andy Dalimunte ini juga mengingatkan agar nantinya MA jangan sembarangan dalam mengeluarkan Fatwa ini bertujuan agar Fatwa yang dihasilkan nantinya tidak tumpangtindi dengan peraturan lainya.

Para Tim Peneliti photo bersama dengan Prof. Jimly Asshiddiqie usai menggelar FGD.

Dr. Teguh Satya Bhakti SH, MH (Hakim PTUN Jakarta) selaku koordinator penelitian ini mengatakan “Kami ditugaskan oleh Badan Litbang Mahkamah Agung RI untuk melakukan penelitian mengenai Urgensi atau pentingnya pembentukan peraturan MA tentang nasehat-nasehat hukum yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung dalam kedudukan selaku lembaga yang menjalankan fungsinya sebagai penasehat.

Menurut Teguh sampai saat ini penelitian sudah ditahap yang kedua yaitu consionering, untuk menyerap banyak informasi data dari Narasumber sebagaimana FGD yang dilaksanakan pada hari ini yang dihadiri oleh Praktisi, Akademisi, maupun dari pemangku kepentingan dan pejabat negara lainnya.

Untuk tahap berikutnya jelas Dr. Teguh Timnya akan melakukan penelitian ke berbagai daerah untuk menggali perkembangan-perkembangan hukum dan peradaban-peradaban hukum di daerah-daerah melalui kampus-kampus.

“Karena kami berpendapat disitu adalah ujung tombak dari hasil penegakan hukum di daerah-daerah. Kalau kami dipusat inikan megapolitan jadi kepekaan kita kurang terhadap hal itu. Oleh karena itu kami perlu melakukan penelitian sampai ke bawah dibantu nanti oleh kampus-kampus Fakultas Hukum supaya kami bisa memahami apa yang sesungguhnya terjadi dan apa akibat dan manfaat dari dikeluarkannya Fatwa oleh Mahkamah Agung itu.

Dr. Moh Sholeh,Mphil,.Mpdi (Dosen UNUSI dan Dosen Institut Sunan Giri Ponorogo) salah satu tim peneliti dalam kesempatan yang sama juga menjelaskan terkait manfaat langsung penelitian ini secara kelembagaan ke MA yaitu yang pertama adalah empowering atau penguatan kelembagaan.

Yang kedua menurut nya ketika lembaga tersebut kuat di struktur MA otomatis bagi masyarakat, para pencari keadilan dimudahkan untuk mendapatkan jawaban atas persoalan sekaligus secara waktu juga bisa pas, seperti itu.

Hal senada juga disampaikan oleh Tim Peneliti (Hakim Yustisial MA)
Wigati Pujiningrum, SH.,M.H yang mengatakan bahwa harapan dari tim peneliti terhadap penelitian ini adalah mendapatkan masuk dari narasumber, dari para peserta FDG, penelitian yang kami lakukan di kampus-kampus, maupun di satker-satker di PN, PA, PTUN dan lain sebagainya.

“Tim akan menggali lebih dalam lagi terkait dengan apa sih sebenarnya peraturan yang kita perlukan untuk bisa mengantisipasi pengajuan nasehat-nasehat yang umumnya kita sebut dengan Fatwa yang diajukan tim MA itu sehingga kita punya dasar yang kuat untuk menentukan bagaiman yang harus dilakukan oleh para satker yang ada di bawah MA. Jadi kita punya acuan yang jelas di situ.” Pungkasnya.

(Edison)