BPKN-RI : Kebijakan Minyak Goreng Yang Berpihak Pada Masyarakat

Beberin.com, Jakarta – Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN-RI) menyikapi tingginya harga minyak goreng di Indonesia yang menjadi sorotan sejak kuartal keempat tahun 2021 hingga awal kuartal pertama 2022 dengan melakukan isu aktual kecukupan ketersediaan minyak goreng yang dilakukan pada bulan Maret 2022.

Anggota Komisi Penelitian dan Pengembangan BPKN RI, Arief Safari, menyatakan bahwa BPKN RI telah mengangkat isu minyak goreng ini karena termasuk meresahkan masyarakat, bersifat aktual, perlu penanganan yang cepat dari otoritas dan bersifat sporadis. Apalagi minyak goreng merupakan salah satu Kebutuhan Bahan Pokok Penting (Bapokting) dan komoditas strategis industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan ketersediaannya memiliki peran penting bagi aspek sosial dan ekonomi.

Untuk itu, BPKN RI telah melakukan diskusi terbatas dengan beberapa stakeholder seperti Kementerian Perdagangan, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), dan akademisi. Berdasarkan hasil diskusi tersebut, disimpulkan bahwa dari sisi suplai, ketersediaan minyak goreng dalam negeri sebenarnya cukup memadai untuk memenuhi konsumsi masyarakat pada kisaran 11 hingga 12 liter per kapita per tahun dengan total kebutuhan minyak goreng nasional sebesar 5,8 juta kilo liter (25,86 dari produksi dalam negeri). Namun ternyata, masyarakat kesulitan untuk mendapatkan minyak goreng. Jika tersedia, harus dibayar dengan harga yang cukup tinggi atau sulit untuk diperoleh seiring pemberlakuan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) oleh pemerintah.

Beberapa regulasi untuk mengatur harga dan distribusi minyak goreng telah dikeluarkan oleh pemerintah. Berkaitan dengan kebijakan HET, sebelumnya untuk minyak goreng diatur Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2022 terbagi dalam beberapa kategori berikut: Rp. 11.500,-/Liter untuk minyak goreng curah: Rp. 13.500,-/Liter untuk minyak goreng kemasan sederhana, dan Rp. 14.000,-/Liter untuk minyak goreng kemasan premium. Peraturan tersebut pada kenyataannya berdampak pada kelangkaan stok MGS kemasan dan curah di pasar. Namun, setelah diberlakukannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11 Tahun 2022, MGS mulai kembali beredar di pasar dengan kenaikan harga MGS curah sebesar Rp. 14.000,-/Liter atau naik sekitar 21,7” dari HET sebelumnya dan kenaikan harga MGS kemasan Rp. 24.500/Liter atau naik sekitar 71,490 dari HET sebelumnya. Kenaikan tersebut tidak lain disebabkan karena Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11 Tahun 2022 tidak mengatur HET untuk MGS kemasan dan melepaskan ketentuan harga dengan mekanisme pasar.

Selanjutnya, BPKN RI juga telah melakukan survei kepada 65 responden konsumen minyak goreng yang menyimpulkan bahwa responden membeli minyak goreng secara kemasan di supermarket/minimarket (8696) dengan rata-rata sebanyak 3-4 Kg/bulan (4879) dengan harga mencapai Rp.48.000/2 liter, dan harga tersebut dianggap terlalu tinggi untuk harga eceran pada saat ini. Kesanggupan konsumen untuk harga minyak goreng pada saat ini adalah sekitar Rp.14.000 — 15.000/liter, atau sesuai harga HET minyak goreng dalam kemasan yang ditetapkan oleh Pemerintah sebelumnya. Sebagai masukan responden kepada pemerintah adalah harga sebaiknya dikembalikan ke HET sebelumnya dan/atau harga minyak goreng harus tetap ditetapkan oleh pemerintah, jangan dilepaskan ke harga pasar, mengingat minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan dasar.

“Menindaklanjuti temuan tersebut, Rizal E. Halim Ketua BPKN RI menyampaikan hasil kajian yang menjadi rekomendasi kepada Bapak Presiden sebagai berikut : Pertama Perlunya pemerintah melalui presiden agar menetapkan HET minyak goreng Rp. 11.500,-/liter untuk minyak goreng curah: Rp. 13.500,-/liter untuk minyak goreng kemasan sederhana, dan Rp. 14.000,-/liter untuk minyak goreng kemasan premium, sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022 yang telah dicabut. HET ini sudah memperhatikan dinamika pasar termasuk input produksi MGS. Selain itu produksi CPO maupun MGS dalam negeri sangat melimpah dan tidak ada kenaikan yang berarti dari input produksi lainnya (kecuali harga pupuk naik di level 5-696):

Kedua, perlunya pemerintah menetapkan kebijakan DMO sebesar 3065 untuk CPO dan produk turunannya termasuk MGS sebagai persyaratan wajib untuk mendapatkan izin ekspor bagi industri sawit kebijakan ini perlu didukung oleh kebijakan pengurangan biaya ekspor sehinggga atribusi kompensasi dan manfaat kebijakan lebih berpihak kepada masyarakat luas dan terakhir ketiga, Perlunya pemerintah memperkuat pengawasan, serta memberi sanksi tegas bagi pihak-pihak yang menghambat distribusi atau dengan sengaja menyebabkan kelangkaan pasokan MGS di pasar dalam negeri. Kebijakan ini perlu dilakukan secara intensif setidaknya dalam tiga bulan ke depan sebagai instrumen kendali atas sejumlah kebijakan yang dilakukan Pemerintah dalam mengendalikan harga dan memastikan ketersediaan barang termasuk MGS”, Pungkas Rizal E. Halim, Ketua BPKN RI.

(Yuki Noviana)